KATA PENGANTAR
Kepala sama berambut, kecerdasan beda. Mungkin kata itu yang tepat untuk
menggambarkan bahwa isi kepala setiap orang pasti berbeda, meski antar satu
dengan yang lainnya memiliki ilmu yang sama atau belajar di tempat yang sama.
Hal itu juga berlaku dalam dunia penafsiran. Dan karena juga didukung oleh
kecenderungan yang berbeda pula, akhirnya, perbedaan dalam penafsiran adalah
hal yang wajar.
Dalam makalah ini, dibahas tentang bagaimana tafsir Nazhm al-Durar karya
al-Biqa’i. Semoga bisa memberikan gambara—meski sangat singkat dan
terbatas—kepada para pembaca. Semoga.
Jakarta, 21 Desember 2017
Penulis
PEMBAHASAN
Biografi Penulis
Nama lengkap al-Biqa’i
adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar Abu Hasan
Burhanuddin al-Biqa’I asy-Syafi’i.[1] Adil Nuwaihid menyebut nama
lengkap al-Biqa’i hanya dengan Ibrahim bin Umar.[2]
Lahir pada tahun 809
H. di desa al-Biqa’i, Syiria. Kemudian ia tinggal dan menetap di Damaskus.
Pernah belajar di Baitul Maqdis dan Kairo. Setelah itu, ia kembali ke Damaskus.
Ia adalah salah satu murid dari Ibnu Hajar al-‘Asqalani.[3] Selain itu, ia juga pernah
menjadi imam di masjid Ruhbah, Kairo, Mesir.[4] Ia wafat pada 885 H.
Ia dikenal sebagai
seorang pakar dalam sejarah, hadis, sastra, dan juga seorang mufassir. Yang
menjadi ciri khas dari caranya menafsirkan adalah ia pandai dalam
menghubung-hubungkn satu ayat dengan ayat yang lain atau satu surat dengan yang
lainnya. Bahkan, karenanya, jika ada orang yang tidak hafal al-Qur’an akan
terkecoh dan menganggap apa yang ditulis al-Biqa’i adalah al-Qur’an. Bahkan,
tidak hanya itu, ia bahkan dituduh sebagai orang yang menambahkan ayat
al-Qur’an.[5]
Sebagai seorang ulama,
ia memiliki karya-karya ilmiah yang tidak sedikit. Di antaranya adalah:
a. Nazhm al-Durar
b. Aswaq al-Asywaq
c. Al-Qaul al-Mufid fi ilm al-Tajwid
d. Al-Qaridh li Takfir Ibn al-Faridh
e. Shawab al-Jawab li al-Sail al-Martab.
Gambaran
Umum Nazhm al-Durar
Tafsir yang ditulis al-Biqa’i ini lengkap 30 juz.[6]
Tafsir ini
disusun dari tahun 865 H. sampai tahun 876 H. dan diterbitkan pertama kali oleh
penerbit Dar al-Ma’arif al-Utsmaniyyah, India, atas biaya dari kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Islam. Kemudi diterbitkan lagi oleh penerbit Dar
al-Kutub al-Islamiyyah, Kairo, Mesir, dibawah pengawasan Direktur Lembaga
al-Ma’arif al-Utsmaniyyah, Syarafuddin Ahmad.
Jika dilihat dari judulnya, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar,
kitab ini sebenarnya bisa ditebak bahwa isinya berkaitan dengan munasabah, baik
antar ayat maupun antar surat. Dimana cara penafsiran seperti ini dianggap
langka oleh para pengkaj tafsir, karena model penafsiran yang baru. Meskipun,
al-Biqai sendiri menyatakan—sebagaimana ditulis A. Husnul Hakim—bahwa
sebenarnya telah ada orang sebelum dirinya yang menggunakan cara penafsiran
seperti ini, namun tidak menyangkup seluruh ayat.
Dalam menafsirkan, al-Biqai mengambil pendapat atau terinspirasi dari
beberapa sumber bacaan, di antaranya:
a. Al-‘Ilm al-Suwar fi Tartb al-Suwar al-Qur’an (Ahmad bin Ibrahim
al-Andalusi).
b.
Al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an, (al-Zarkasyi)
c.
Mafatih
al-Ghaib (al-Razi)
d.
Bahr
al-Muhith (Ibnu Hayyan)
e.
Al-Kasysyaf
(al-Zamakhsyari)
Karakteristik Umum Nazhm al-Durar
Caranya dalam menafsirkan adalah dengan menyebutkan nama surat dan
hubungannya dengan surat sebelumnya. Juga, segala hal yang berkaitan dengannya.
Ia juga menyebutkan kesesuaian topik-topik yang ada dalam surat itu.[7]
Dalam mejelaskan tentang munasabah ini, al-Biqa’i banyak merujuk pada
Miftah al-Bab al-Muqaffal, karya al-Harrali. Asalan mengapa ia melakukan atau
menerapkan model penafsiran ala-munasabah seperti ini adalah karena,
menurutnya, tidak ada kata selesai dalam mempelajari al-Qur’an. Ia memberikan
contoh, bahwa surat al-Nas itu saja, meski berada di akhir urutan mushaf, masih
ada kaitannya dengan surat al-Fatihah.
Al-Biqa’i juga menyebutkan beberapa riwayat dan disertai dengan kritik
terhadap sanad itu, apakah shahih atau tidak. Tentang israiliyyah, al-Biqai
benar-benar berusaha untuk menjauhinya.
Contoh Penafsiran
Penafsiran bil-Ma’tsur
والوصف بهده الأوصاف كما ترى إشارة إلى أمهات الأعمال البدنية
والماليه من الأفعال والتروك ، فالإيمان أساس الأمر والصلاة مشار بها إلى
التحلي بكل خير والتخلي عن كل شر { إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر } [
العنكبوت : 45 ] وكلاهما من أعمال البدن ، والنفقه عمل مالي ، فحصل بذلك حصر
الفعل والترك الضابطين لجميع الأعمال كيف ما تشعبت ، وصرح بالفعل وأومى إلى الترك
إيماء لا يفهمه إلا البصراء تسهيلاً على السالكين ، لأن الفعل من حيث هو ولو كان
صعباً أيسر على النفس من الكف عما تشتهي .[8]
Teks arab di atas adalah penejelasan yang diberikan
al-Biqa’i setelah ia menafsirkan surat al-Baqarah, ayat 1-5. Menurut potongan
teks di atas, dapat kita lihat bahwa tafsir al-Biqa’i termasuk tafsir bil-Ma’tsur.
Persoalan Ilmu Kalam
ولما كان القادر قد لايكون ملكاً ، قال دالاًّ على ملكه مادحاً له
بالقطع خبراً لمبتدأ محذوف : { الرحمن } مفتتحاً بالوصف المفيض للنعم العامة
للطائع والعاصي؛ ثم ذكر خبراً ثانياً دالاً على عموم الرحمة فقال : { على العرش }
الحاوي لذلك كله { استوى* } أي أخذ في تدبير ذلك منفرداً ، فخاطب العباد بما
يفهمونه من قولهم : فلان استوى ، أي جلس معتدلاً على سرير الملك ، فانفرد بتدبيره
وإن لم يكن هناك سرير ولا كون عليه أصلاً ، هذا روح هذه العبارة ، كما أن روح
قوله عليه الصلاة والسلام الذي رواه مسلم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما «
القلوب بين إصبعين من أصابع الله يقلبها كيف شاء » أنه سبحانه وتعالى عظيم القدرة
على ذلك ، وهو عليه يسير خفيف كخفته على من هذا الحالة ، وليس المراد أن
هناك إصبعاً أصلاً - نبه على ذلك حجة الإسلام الغزالي ، ومنه أخذ
الزمخشري أن يد فلان مبسوطة كناية عن جواد وإن لم يكن هناك بد ولا بسط أصلاً .
Bisa kita lihat, dalam menafsirkan kata istawa,
al-Biqa’i “memprediksi” penggunaan kata istawa itu karena agar manusia
bisa paham. Atau dengan kata lain, Allah Swt. menggunakan bahasa yang bisa
dipahami manusia secara umum. Padahal, pada penafsiran selanjutnya, dapat kita
lihat babhwa yang dimaksud istawa pada ayat itu, menurut al-Biqa’i,
tidak bisa dipahami sebagaimana dhahirnya. Sehingga bisa disebut ia menakwilkan
ayat-ayat mutasabihat.
Persolalan Fiqh
{ فاغسلوا } أي لأجل إرادة الصلاة ، ومن هنا يعلم وجوب النية ، لأن
فعل العاقل لا يكون إلا مقصوداً ، وفعل المأمور به لأجل الأمر هو النية {
وجوهكم } وحدّ الوجه منابت شعر الرأس ومنتهى الذقن طولاً وما بين الأذنين عرضاً ،
وليس منه داخل العين وإن كان مأخو ذاً من المواجهة ، لأنه
من الحرج ، وكذا إيصال الماء إلى البشرة إذا كثفت اللحية خفف للحرج واكتفى
عنه بظاهر اللحية ، وأما العنفقة ونحوها من الشعر الخفيف فيجب { وأيديكم } .
Dari teks di atas, sangat jelas dan detail,
al-Biqa’i menyebutkan batasan-batasan wajah. Hanya saja, penulis tidak/belum
menemukan penyebutan madzhab tertentu yang dilakukan oleh al-Biqa’i. Namun,
jika ditelusuri dalam pencantuman nama al-Biqa’i sebagaimana yang telah penulis
paparkan sebelumnya, ia beraliran asy-Syafi’i.
Persoalan Sosial
ولما حث على الصلاة وأرشد إلى أن وقتها لا يصلح لطلب شيء غيرها ،
وأنه متى طلب فيه شيء من الدنيا محقت بركته مع ما اكتسب من الإثم ، بين وقت المعاش
فقال مبيحاً لهم ما كان حظر عليهم ، ولهذا قال ابن عباس رضي الله عنهما : إن شئت
فاخرج وإن شئت فاقعد : { فإذا قضيت الصلاة } أي وقع الفراغ منها على أي وجه كان
{ فانتشروا } أي فدبوا وتفرقوا مجتهدين في الأرض في ذلك { في الأرض } جميعها إن
شئتم ، لا حجر عليكم ولا حرج رخصة من الله لكم { وابتغوا } أي وتعمدوا وكلفوا
أنفسكم مجتهدين بالسعي في طلب المعاش { من فضل الله } أي زفلة الملك الأعلى
الذي له كل كمال ولا يجب لأحد عليه شيء بالبيع والشراء وغيرهما من مصالح الدين
والدنيا التي كنتم نهيتم عنها .
Pada teks di atas dapat dipahami bahwa al-Biqa’i
sangat menjelaskan bahwa setelah ibadah shalat, seharusnya kita menyebar ke
mana saja, demi untuk mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Persoalan Qira`ah
Penulis belum/tidak menemukan penafsiran
al-Biqa’i yang berkaitan dengan qira’at. Dan penulis berkesimpulan bahwa
agaknny al-Biqa’i tidak menaruh perhatian terhadap ilmu qira’at dalam penulisan
tafsirnya. Misalnya dapat dilihat dalam menafsirkan surat al-Fatihah, ayat 4,
dimana biasanya oleh para mufassir yang juga fokus pada ilmu qira’at, ayat ini selalu menjadi bahan
yang tidak lepas dalam pembahasan tafsirnya (dan dibahas juga tafsir dari segi
ilmu qira’atnya).
{ مالِك يوم الدين } ترهيباً من سطوات مجده . قال الحرالّي :
واليوم مقدار ما يتم فيه أمر ظاهر ، ثم قال : و { يوم الدين
} في الظاهر هو يوم ظهور انفراد الحق بإمضاء المجازاة حيث تسقط دعوى المدعين ، وهو
من أول يوم الحشر إلى الخلود فالأبد ،
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Dari penjelasan
singkat di atas dapat penulis simpulkan bahwa al-Biqa’i adalah mufassir yang
langka karena dalam menafsirkan ia memiliki karakteristik baru: menafsirkan
al-Qur’an dari segi munasabahnya, baik antar ayat maupun antar surat.
DAFTAR
PUSTAKA
Bari, Abdul
Majid al-Syaikh Abdil. Al-Riwayat al-Tafsiriyyah fi Fathil Bari. T.t.:
Waqf al-Islam al-Khairi, 2006, V. 1
al-Biqa’i,
Ibrahim bin Umar bin Hasan. Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa
al-Suwar. Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, t.t.
________________
Musharra’ al-Tasawwuf. Mekkah: Abbas Ahmad al-Bari, t.t.
IMZI, A. Husnul
Hakim. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir. Depok: Lingkar Studi al-Qur’an,
2013.
Nuwaihid,
Adil. Mu’jam al-Mufassirin. Lebanon: Muassasah Nuwaihid al-Tsaqafiyyah,
1984.
[1] Ibrahim bin Umar bin Hasan, Musharra’ al-Tasawwuf
(Mekkah: Abbas Ahmad al-Bari, t.t.)
[2] Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirin (Lebanon:
Muassasah Nuwaihid al-Tsaqafiyyah, 1984), h.. 101
[3] Abdul Majid al-Syaikh Abdil Bari, Al-Riwayat
al-Tafsiriyyah fi Fathil Bari (T.t.: Waqf al-Islam al-Khairi, 2006), V. 1,
h. 53.
[4] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir
(Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013), h. 123
[5] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab
Tafsir, h. 123
[6] Sesuai file kitab ini yang penulis miliki, tafsir ini
terdiri dari 22 jilid/volume.
[7] Untuk lebih jelasnya, silakan
rujuk lampiran sebagian teks asli kitab Nazhm al-Durar pada akhir makalah ini.
Sebagai catatan, dalam menjelaskan awal surat, ada teks asli kitab ini yang
tidak disebutkan di Maktabah Syamilah.
[8]
Ibrahim bin Umar bin Hasan
al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (Kairo:
Dar al-Kutub al-Islami, t.t.)