Kamis, 11 Januari 2018

Study Kitab Tafsir Klasik (Nazhm al-Durar)

KATA PENGANTAR
Kepala sama berambut, kecerdasan beda. Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan bahwa isi kepala setiap orang pasti berbeda, meski antar satu dengan yang lainnya memiliki ilmu yang sama atau belajar di tempat yang sama.
Hal itu juga berlaku dalam dunia penafsiran. Dan karena juga didukung oleh kecenderungan yang berbeda pula, akhirnya, perbedaan dalam penafsiran adalah hal yang wajar.
Dalam makalah ini, dibahas tentang bagaimana tafsir Nazhm al-Durar karya al-Biqa’i. Semoga bisa memberikan gambara—meski sangat singkat dan terbatas—kepada para pembaca. Semoga.

Jakarta, 21 Desember 2017


   Penulis



PEMBAHASAN
Biografi Penulis
Nama lengkap al-Biqa’i adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar Abu Hasan Burhanuddin al-Biqa’I asy-Syafi’i.[1] Adil Nuwaihid menyebut nama lengkap al-Biqa’i hanya dengan Ibrahim bin Umar.[2]
Lahir pada tahun 809 H. di desa al-Biqa’i, Syiria. Kemudian ia tinggal dan menetap di Damaskus. Pernah belajar di Baitul Maqdis dan Kairo. Setelah itu, ia kembali ke Damaskus. Ia adalah salah satu murid dari Ibnu Hajar al-‘Asqalani.[3] Selain itu, ia juga pernah menjadi imam di masjid Ruhbah, Kairo, Mesir.[4] Ia wafat pada 885 H.
Ia dikenal sebagai seorang pakar dalam sejarah, hadis, sastra, dan juga seorang mufassir. Yang menjadi ciri khas dari caranya menafsirkan adalah ia pandai dalam menghubung-hubungkn satu ayat dengan ayat yang lain atau satu surat dengan yang lainnya. Bahkan, karenanya, jika ada orang yang tidak hafal al-Qur’an akan terkecoh dan menganggap apa yang ditulis al-Biqa’i adalah al-Qur’an. Bahkan, tidak hanya itu, ia bahkan dituduh sebagai orang yang menambahkan ayat al-Qur’an.[5]
Sebagai seorang ulama, ia memiliki karya-karya ilmiah yang tidak sedikit. Di antaranya adalah:
a.       Nazhm al-Durar
b.      Aswaq al-Asywaq
c.       Al-Qaul al-Mufid fi ilm al-Tajwid
d.      Al-Qaridh li Takfir Ibn al-Faridh
e.       Shawab al-Jawab li al-Sail al-Martab.
Gambaran Umum Nazhm al-Durar
Tafsir yang ditulis al-Biqa’i ini lengkap 30 juz.[6] Tafsir ini disusun dari tahun 865 H. sampai tahun 876 H. dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Dar al-Ma’arif al-Utsmaniyyah, India, atas biaya dari kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Islam. Kemudi diterbitkan lagi oleh penerbit Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Kairo, Mesir, dibawah pengawasan Direktur Lembaga al-Ma’arif al-Utsmaniyyah, Syarafuddin Ahmad.  
Jika dilihat dari judulnya, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, kitab ini sebenarnya bisa ditebak bahwa isinya berkaitan dengan munasabah, baik antar ayat maupun antar surat. Dimana cara penafsiran seperti ini dianggap langka oleh para pengkaj tafsir, karena model penafsiran yang baru. Meskipun, al-Biqai sendiri menyatakan—sebagaimana ditulis A. Husnul Hakim—bahwa sebenarnya telah ada orang sebelum dirinya yang menggunakan cara penafsiran seperti ini, namun tidak menyangkup seluruh ayat.
Dalam menafsirkan, al-Biqai mengambil pendapat atau terinspirasi dari beberapa sumber bacaan, di antaranya:
a.       Al-‘Ilm al-Suwar fi Tartb al-Suwar al-Qur’an (Ahmad bin Ibrahim al-Andalusi).
b.      Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (al-Zarkasyi)
c.       Mafatih al-Ghaib (al-Razi)
d.      Bahr al-Muhith (Ibnu Hayyan)
e.       Al-Kasysyaf (al-Zamakhsyari)
Karakteristik Umum Nazhm al-Durar
Caranya dalam menafsirkan adalah dengan menyebutkan nama surat dan hubungannya dengan surat sebelumnya. Juga, segala hal yang berkaitan dengannya. Ia juga menyebutkan kesesuaian topik-topik yang ada dalam surat itu.[7]
Dalam mejelaskan tentang munasabah ini, al-Biqa’i banyak merujuk pada Miftah al-Bab al-Muqaffal, karya al-Harrali. Asalan mengapa ia melakukan atau menerapkan model penafsiran ala-munasabah seperti ini adalah karena, menurutnya, tidak ada kata selesai dalam mempelajari al-Qur’an. Ia memberikan contoh, bahwa surat al-Nas itu saja, meski berada di akhir urutan mushaf, masih ada kaitannya dengan surat al-Fatihah.
Al-Biqa’i juga menyebutkan beberapa riwayat dan disertai dengan kritik terhadap sanad itu, apakah shahih atau tidak. Tentang israiliyyah, al-Biqai benar-benar berusaha untuk menjauhinya.
Contoh Penafsiran
Penafsiran bil-Ma’tsur
والوصف بهده الأوصاف كما ترى إشارة إلى أمهات الأعمال البدنية والماليه من الأفعال والتروك ، فالإيمان أساس الأمر والصلاة مشار بها إلى التحلي بكل خير والتخلي عن كل شر { إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر } [ العنكبوت : 45 ] وكلاهما من أعمال البدن ، والنفقه عمل مالي ، فحصل بذلك حصر الفعل والترك الضابطين لجميع الأعمال كيف ما تشعبت ، وصرح بالفعل وأومى إلى الترك إيماء لا يفهمه إلا البصراء تسهيلاً على السالكين ، لأن الفعل من حيث هو ولو كان صعباً أيسر على النفس من الكف عما تشتهي .[8]
Teks arab di atas adalah penejelasan yang diberikan al-Biqa’i setelah ia menafsirkan surat al-Baqarah, ayat 1-5. Menurut potongan teks di atas, dapat kita lihat bahwa tafsir al-Biqa’i termasuk tafsir bil-Ma’tsur.
Persoalan Ilmu Kalam
ولما كان القادر قد لايكون ملكاً ، قال دالاًّ على ملكه مادحاً له بالقطع خبراً لمبتدأ محذوف : { الرحمن } مفتتحاً بالوصف المفيض للنعم العامة للطائع والعاصي؛ ثم ذكر خبراً ثانياً دالاً على عموم الرحمة فقال : { على العرش } الحاوي لذلك كله { استوى* } أي أخذ في تدبير ذلك منفرداً ، فخاطب العباد بما يفهمونه من قولهم : فلان استوى ، أي جلس معتدلاً على سرير الملك ، فانفرد بتدبيره وإن لم يكن هناك سرير ولا كون عليه أصلاً ، هذا روح هذه العبارة ، كما أن روح قوله عليه الصلاة والسلام الذي رواه مسلم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما « القلوب بين إصبعين من أصابع الله يقلبها كيف شاء » أنه سبحانه وتعالى عظيم القدرة على ذلك ، وهو عليه يسير خفيف كخفته على من هذا الحالة ، وليس المراد أن هناك إصبعاً أصلاً - نبه على ذلك حجة الإسلام الغزالي ، ومنه أخذ الزمخشري أن يد فلان مبسوطة كناية عن جواد وإن لم يكن هناك بد ولا بسط أصلاً .
Bisa kita lihat, dalam menafsirkan kata istawa, al-Biqa’i “memprediksi” penggunaan kata istawa itu karena agar manusia bisa paham. Atau dengan kata lain, Allah Swt. menggunakan bahasa yang bisa dipahami manusia secara umum. Padahal, pada penafsiran selanjutnya, dapat kita lihat babhwa yang dimaksud istawa pada ayat itu, menurut al-Biqa’i, tidak bisa dipahami sebagaimana dhahirnya. Sehingga bisa disebut ia menakwilkan ayat-ayat mutasabihat.
Persolalan Fiqh
{ فاغسلوا } أي لأجل إرادة الصلاة ، ومن هنا يعلم وجوب النية ، لأن فعل العاقل لا يكون إلا مقصوداً ، وفعل المأمور به لأجل الأمر هو النية { وجوهكم } وحدّ الوجه منابت شعر الرأس ومنتهى الذقن طولاً وما بين الأذنين عرضاً ، وليس منه داخل العين وإن كان مأخو ذاً من المواجهة ، لأنه من الحرج ، وكذا إيصال الماء إلى البشرة إذا كثفت اللحية خفف للحرج واكتفى عنه بظاهر اللحية ، وأما العنفقة ونحوها من الشعر الخفيف فيجب { وأيديكم } .
Dari teks di atas, sangat jelas dan detail, al-Biqa’i menyebutkan batasan-batasan wajah. Hanya saja, penulis tidak/belum menemukan penyebutan madzhab tertentu yang dilakukan oleh al-Biqa’i. Namun, jika ditelusuri dalam pencantuman nama al-Biqa’i sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya, ia beraliran asy-Syafi’i.
Persoalan Sosial
ولما حث على الصلاة وأرشد إلى أن وقتها لا يصلح لطلب شيء غيرها ، وأنه متى طلب فيه شيء من الدنيا محقت بركته مع ما اكتسب من الإثم ، بين وقت المعاش فقال مبيحاً لهم ما كان حظر عليهم ، ولهذا قال ابن عباس رضي الله عنهما : إن شئت فاخرج وإن شئت فاقعد : { فإذا قضيت الصلاة } أي وقع الفراغ منها على أي وجه كان { فانتشروا } أي فدبوا وتفرقوا مجتهدين في الأرض في ذلك { في الأرض } جميعها إن شئتم ، لا حجر عليكم ولا حرج رخصة من الله لكم { وابتغوا } أي وتعمدوا وكلفوا أنفسكم مجتهدين بالسعي في طلب المعاش { من فضل الله } أي زفلة الملك الأعلى الذي له كل كمال ولا يجب لأحد عليه شيء بالبيع والشراء وغيرهما من مصالح الدين والدنيا التي كنتم نهيتم عنها .
Pada teks di atas dapat dipahami bahwa al-Biqa’i sangat menjelaskan bahwa setelah ibadah shalat, seharusnya kita menyebar ke mana saja, demi untuk mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Persoalan Qira`ah
Penulis belum/tidak menemukan penafsiran al-Biqa’i yang berkaitan dengan qira’at. Dan penulis berkesimpulan bahwa agaknny al-Biqa’i tidak menaruh perhatian terhadap ilmu qira’at dalam penulisan tafsirnya. Misalnya dapat dilihat dalam menafsirkan surat al-Fatihah, ayat 4, dimana biasanya oleh para mufassir yang juga fokus pada  ilmu qira’at, ayat ini selalu menjadi bahan yang tidak lepas dalam pembahasan tafsirnya (dan dibahas juga tafsir dari segi ilmu qira’atnya). 
{ مالِك يوم الدين } ترهيباً من سطوات مجده . قال الحرالّي : واليوم مقدار ما يتم فيه أمر ظاهر ، ثم قال : و { يوم الدين } في الظاهر هو يوم ظهور انفراد الحق بإمضاء المجازاة حيث تسقط دعوى المدعين ، وهو من أول يوم الحشر إلى الخلود فالأبد ،
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari penjelasan singkat di atas dapat penulis simpulkan bahwa al-Biqa’i adalah mufassir yang langka karena dalam menafsirkan ia memiliki karakteristik baru: menafsirkan al-Qur’an dari segi munasabahnya, baik antar ayat maupun antar surat.
DAFTAR PUSTAKA
Bari, Abdul Majid al-Syaikh Abdil. Al-Riwayat al-Tafsiriyyah fi Fathil Bari. T.t.: Waqf al-Islam al-Khairi, 2006, V. 1
al-Biqa’i, Ibrahim bin Umar bin Hasan. Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, t.t.
________________ Musharra’ al-Tasawwuf. Mekkah: Abbas Ahmad al-Bari, t.t.
IMZI, A. Husnul Hakim. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir. Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013.
Nuwaihid, Adil. Mu’jam al-Mufassirin. Lebanon: Muassasah Nuwaihid al-Tsaqafiyyah, 1984.




[1] Ibrahim bin Umar bin Hasan, Musharra’ al-Tasawwuf (Mekkah: Abbas Ahmad al-Bari, t.t.)
[2] Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirin (Lebanon: Muassasah Nuwaihid al-Tsaqafiyyah, 1984), h.. 101
[3] Abdul Majid al-Syaikh Abdil Bari, Al-Riwayat al-Tafsiriyyah fi Fathil Bari (T.t.: Waqf al-Islam al-Khairi, 2006), V. 1, h. 53.
[4] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013), h. 123
[5] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir, h. 123
[6] Sesuai file kitab ini yang penulis miliki, tafsir ini terdiri dari 22 jilid/volume.
[7] Untuk lebih jelasnya, silakan rujuk lampiran sebagian teks asli kitab Nazhm al-Durar pada akhir makalah ini. Sebagai catatan, dalam menjelaskan awal surat, ada teks asli kitab ini yang tidak disebutkan di Maktabah Syamilah.
[8] Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, t.t.) 

Selasa, 09 Januari 2018

IDUL FITRI (Tafsir Maudhu'i (Tematik) Ibadah)

TAFSIR MAUDHU’I (TEMATIK) IBADAH
IDUL FITRI
Oleh: Fitra Jaya, Sept. A & M. Irfan Hidayat

A. PENDAHULUAN
Shalat merupakan kewajiban hamba Allah Swt yang beriman. Bentuknya adalah serangkaian gerakan dan do’a dengan menghadapkan wajahnya kepada Yang Maha Pencipta. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diperhitungkan dan pertama kali dihisab di hari akhir. Di dalam ibadah shalat ada dua macam bentuk, yaitu: shalat wajib dan shalat sunat. Salah satu sholat sunnat adalah shalat ‘ied.Shalat ‘ied dalam islam ada dua yaitu  sholat idul fitri dan sholat idul adha. Idul Fitri maupun Idul Adha telah menjadi “ibadah tahunan” bagi umat Islam di seluruh dunia, yang menjadikan momentum kedua hari raya ini sebagai hari “kemenangan” dan hari “besar” setelah perjuangan yang melelahkan menghadapi cobaan selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan saat berkumpul serta bersatunya umat Islam di seluruh dunia dalam menjalankan ibadah haji dan berkurban dijalan Allah.
Idul Fitri adalah hari raya yang telah jelas pelaksanaannya disesuaikan dengan syari’at Islam dan sebagai syi’ar agama yang senyata-nyatanya. Lalu apakah makna sebenarnya dari Idul Fitri? Akan kami jelaskan pada uraian berikut.

B. PEMBAHASAN
1. QS. Al-Baqoroh: 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.

2. Tafsir Ayat
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ Artinya: Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah ketika kalian telah melengkapi bilangan bulan itu.[1]
a.      Prof. Dr. Wahbah Zuhaili[2]
Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya Al-Munir, firman Allah Ta’ala وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ menunjukkan imbauan untuk bertakbir pada akhir bulan Ramadhan, menurut mayoritas ahli takwil. Jadi, ayat ini adalah dalil pensyariatan takbir pada hari Idul Fitri. Lafadz takbir menurut Malik dan sejumlah Ulama’ adalah: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar (3x). Diantara para Ulama’ ada yang bertakbir, dan bertahlil, serta bertasbih pada waktu bertakbir. Ada pula yang membaca seperti berikut: Allahu akbar kabiran, wal-hamdu lil-laahi katsiran, wasubhanal-laahi bukratan wa ashilan.
Adapun tentang waktu bertakbir dan temponya, Abu Hanifah dan Malik berkata: Dianjurkan bertakbir pada hari Idul Fitri dengan berangkat dari rumahnya menuju tempat shalat Id. Apabila shalat telah selesai, berarti Id sudah berakhir. Sedangkan Syafi’i dan Ahmad berkata: Dianjurkan bertakbir pada waktu kapanpun sesudah shalat dan pada masa kapanpun sejak terbenamnya matahari pada malam menjelang hari Id hingga pelaksanaan shalat Id. Dengan kata lain, sejak terlihatnya hilal Syawwal sampai munculnya Imam untuk memimpin shalat Id.
b.      Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi[3]
Seorang yang telah selesai berpuasa akan merasakan pencerahan didalam dirinya. Ketika itulah hamba tersebut disuruh untuk bertakbir mengagungkan Allah. Pencerahan yang ia dapatkan sebagai hasil dari puasa harus disyukuri dengan bertakbir kepadanya.
Takbir atau Allahu Akbar merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat pencerahan itu. Pencerahan yang dirasakan oleh hamba tersebut merupakan modal utama bagi dirinya untuk mengarungi gelombang kehidupan ini dan sebagai senjata melawan segala kejahatan hawa nafsu. Dengan demikian tanpa disadari hamba tersebut kembali menyerahkan dirinya kepada sang pencipta (Allah) dalam bentuk do’a. Oleh karena itu, ayat selanjutnya menerangkan tentang do’a.
c.       Syaikh Imam Al-Qurthubi[4]
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ dan hendaklah kamu mengagungkan Allah,” athaf
kepada kalimat sebelumnya. Maknanya adalah anjuran untuk bertakbir diakhir bulan Ramadhan, menurut pendapat jumhur ahli ta’wil.
Para Ulama’ berbeda pendapat seputar waktunya. As-Syafi’i berkata, Diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, Urwah dan Abu Salamah, bahwa mereka bertakbir pada malam hari raya fitri dan bertahmid. As-Syafi’i berkata dan sama dengan hari raya kurban.
Ibnu Abbas berkata, “Pantas bagi kaum mslim apabila mereka melihat hilal Syawwal untuk bertakbir.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “ Seorang boleh bertakbir sejak melihat hilal sampai selesai khutbah, berhenti waktu keluarnya imam dan kembali bertakbir dengan takbirnya imam.”
Zaid bin Aslam berkata, “Mereka bertakbir apabila mereka menuju tempaat shalat. Lalu apabila shalat sudah dilaksankan maka hari rayapun berakhir.” Ini adalah madzhab Malik. Malik berkata, “ Takbir dari ketika seseorang keluar dari rumahnya sampai imam keluar.
d.      Syaikh H. Abdul Halim Hasan[5]
“Dan agar kamu mengagungkan Allah atas apa yang telah ditunjukkannya kepadamu”artinya ialah supaya kamu mengucapkan takbir setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan. Menuerut keterangan sebagian ulama’ waktu mengucapkan takbir itu mulai dari malam berbuka, yaitu sejak melihat atau memandang bulan (hilal) sampai waktu khutbah.
Menurut Malik, “Sejak imam keluar dari rumahnya sampai tempat shalat”. Abu Hanifah mengatakan, bahwa takbir itu hanya pada hari raya kurban, tidak pada hari raya fitri. Syafi’i berkata, “Sejak malam hari raya sampai imam mengerjakan shalat, baik hari raya fitri maupun hari raya adha.” Telah meriwayatkan Sa’id bin Mansur dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud, bahwa takbir itu dengan mengucapkan ucapan , “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akabr, La ilaaha illallah wa lillahil hamd”

3. Definisi Idul Fitri
a. Makna kata Id
Id secara bahasa berasal dari kata عاد – يعود, yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,[6]
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru.

Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata العادة, yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka.
Sedangkan dalam Al-Qur’an kata Id tertera pada surat Al-Maidah ayat 114,
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".

Secara mufradat Wahbah Zuhaili mengartikan kata عِيدًا adalah hari ketika kami bergembira, mengagumkan, dan memuliakannya. Jika menengok pada penafsiran ayat diatas dapat kita ketahui bahwa adanya permintaan dari Nabi Isa yang kemudian dikabulkan oleh Allah, hal ini sebagai sebuah dalil yang kuat bagi mereka. Jika mereka menyimpang, mereka akan diberikan adzab. Isa berkata, “Wahai Tuhan kami, yang memiliki urusan kami dan berkuasa atas kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang dapat dilihat oleh mereka agar hal itu menjadi sebuah hari raya. Ada yang mengatakan itu adalah hari Ahad. Oleh karena itu orang-orang Nasrani menjadikannya sebagai hari raya.[7]
Hari raya ini akhirnya diterapkan juga bagi orang-orang yang ada di zaman kami, penganut agama kami,maksudnya ketika zaman Nabi Isa pada saat itu dan orang-orang yang datang setelah kami, yaitu orang-orang atau kaum setelah zaman kaum Nabi Isa.
b. Makna kata Fitri
Kata Fitrah dalam Al-Qur’an Allah sebutkan,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).

Allah SWT berfirman, maka perkokohlah pandanganmu dan istiqomahlah di atas agama yang telah disyari’atkan Allah kepadamu, berupa kesucian millah Ibrahim a.s yang Allah bimbing kamu kepadanya dan disempurnakan Allah agama itu untukmu dengan sangan sempurna. Disamping itu hendakya engkau konsekuen terhadap fitrah lurusmunyang difitrahkan Allah atas makhluk-Nya. Karena Allah telah memfitrahkan makhluknya untuk mengenal dan mengesakan-Nya yang tidak ada Ilah (yang haaq) selain-Nya, sebagaimana penjelasan yang lalu dalam firmannya:
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS. Al-A’raaf: 172)

Dalam bahasa Arab, kata fithrah (فطرة) dan fithr (فطر) juga nyaris mirip, tapi punya arti berbeda.
Fithrah (فطرة). Jumlah hurufnya ada empat yaitu fa', tha', ra' dan ta' marbuthah. Umumnya fithrah diartikan oleh para ulama sebagai kesucian atau juga bermakna agama Islam. Sedangkan kata fithr (فطر) sangat berbeda maknanya dari kata fithrah. Memang sekilas keduanya punya kemiripan. Tetapi coba perhatikan baik-baik, ternyata kata fithr itu hurufnya cuma ada tiga saja, yaitu fa', tha' dan ra', tanpa tambahan huruf ta' marbuthah di belakangnya.
Sesungguhnya kata 'Idul Fithri' itu bukan bermakna kembali kepada kesucian, tetapi adalah Hari Raya Makanan.
Dan hari raya Islam yang satunya lagi adalah Idul Adha, tentu maknanya bukan kembali kepada Adha, sebab artinya akan jadi kacau, karena kembali kepada hewan qurban? Idul Adha artinya adalah hari raya qurban (hewan sembelihan).
Bahwa setelah sebulan berpuasa kita harus kembali menjadi suci, mencusikan hati, mensucikan pikiran dan mensucikan semuanya, tentu memang harus. Hanya saja, jangan kemudian main paksa istilah yang kurang tepat. Kita harus kembali suci, lalu ungkapan 'Idul Fithri' dipaksakan berubah makna menjadi 'kembali suci'.
Memang sejatinya pada hari itu umat Islam diwajibkan untuk makan dan haram untuk berpuasa. Berpuasa para tanggal 1 Syawwal justru haram dan berdosa bisa dilakukan. Dan sunnahnya, makan yang menjadi ritual itu dilakukan justru sebelum kita melaksanakan shalat Idul Fithri.
Dan oleh karena itulah kita mengenal syariat memberi zakat al-fithr, yang maknanya adalah zakat dalam bentuk makanan. Tujuannya sudah jelas, agar tidak ada yang tersisa dari orang miskin yang berpuasa hari itu dengan alasan tidak punya makanan. Dengan adanya zakat al-fithr, maka semua orang bisa makan di hari itu. Dan hari raya umat Islam disebut dengan 'Iedul Fithr, yang secara harfiyah bermakna hari raya untuk makan.

4. Dasar Hukum Sholat ‘Ied
Menurut pendapat ulama fiqh, ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied ada tiga yaitu: 
1) Fardhu kifayah,
2) Wajib
 3) Sunnah
.
Pertama, menurut pendapat ulama Hanbali, sholat ied memiliki hukum fardhu kifayah dikarenakan sholat ‘ied cukup dilaksanakan oleh beberapa orang saja. Sesuai dengan Qs. Al-Kausar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 
 Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
Kedua, menurut pendapat ulama Hanafiyah, sholat ‘ied memiliki hukum wajib diperuntukkan bagi mereka-mereka yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan sholat Jum’at.
Ketiga, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, sholat ‘ied memiliki hukum sunnah muakad sebab senantiasa dilakukan oleh Rasulullah setiap tahunnya.

C. KESIMPULAN
Firman Allah Ta’ala وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ menunjukkan imbauan untuk bertakbir pada akhir bulan Ramadhan, menurut mayoritas ahli takwil. Jadi, ayat ini adalah dalil pensyariatan takbir pada hari Idul Fitri. Lafadz takbir menurut Malik dan sejumlah Ulama’ adalah: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar (3x).
Adapun tentang waktu bertakbir dan temponya, Abu Hanifah dan Malik berkata: Dianjurkan bertakbir pada hari Idul Fitri dengan berangkat dari rumahnya menuju tempat shalat Id. Apabila shalat telah selesai, berarti Id sudah berakhir. Sedangkan Syafi’i dan Ahmad berkata: Dianjurkan bertakbir pada waktu kapanpun sesudah shalat dan pada masa kapanpun sejak terbenamnya matahari pada malam menjelang hari Id hingga pelaksanaan shalat Id. Dengan kata lain, sejak terlihatnya hilal Syawwal sampai munculnya Imam untuk memimpin shalat Id.
Umumnya memaknai kata "id" dengan "kembali" dan kata "Fitri" berarti "fitrah, kesucian, asal kejadian", sehingga idul fitri bermaknakan kembali ke kondisi fitrah, bersih tanpa noda dan dosa seperti bayi yang baru dilahirkan. Sesungguhnya kata 'Idul Fithri' itu bukan bermakna kembali kepada kesucian, tetapi adalah Hari Raya Makanan.
Dasar hukum shalat Ied menurut pendapat ulama fiqh, ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied ada tiga yaitu: 
1) Fardhu kifayah,
2) Wajib
 3) Sunnah



DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid I dan
IV, (Depok: Gema Insani, 2013)
Jamaris, Zaenal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan
Kaifiyat dan Latar Filosofinya,   (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu , Terj. Masdar Helmy,
“Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab”, (Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004).
Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Muhammad. Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim Terjemah
Safari al-Azhar, (Jakarta: Duta Azhar, 2004)
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, Terj. Fatirrahman, Ahmad Hotib,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Halim Hasan, Syaikh Abdul. Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006)



[1] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 1, (Depok: Gema Insani, 2013) 378.
[2] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 1, (Depok: Gema Insani, 2013) 378
[3] Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim Terjemah Safari al-Azhar, (Jakarta: Duta Azhar, 2004) 588

[4] Syaikh Imam Al-Qurthubi Tafsir Al-Qurthubi, Terj. Fatirrahman, Ahmad Hotib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) 697-698
[5] Syaikh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006) 39

[6] Zaenal Arifin Jamaris, Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiyat dan Latar Filosofinya,   (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 257.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid IV, (Depok: Gema Insani, 2013) 125.

Study Kitab Tafsir Klasik (Nazhm al-Durar)

KATA PENGANTAR Kepala sama berambut, kecerdasan beda. Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan bahwa isi kepala setiap orang pasti...